Al-Qur'an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan
menggunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan,
yakni al-insaan , an-naas ,
al-basyar , dan banii Aadam .
Manusia disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa
sehingga diperlukan teguran dan peringatan.
Sedangkan kata an-naas (terambil dari kata an-nawsyang
berarti gerak; dan ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas
yang berarti nampak) digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia baik dalam
arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia.
Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan
emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai
banii Aadam karena dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam
as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia
berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali.
Penggunaan istilah banii Aadam menunjukkan bahwa manusia
bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini
diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al-Qur'an oleh Allah dengan
huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan
kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta)dan bukan jamak
(antum) sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 35.
Manusia dalam pandangan al- Qur'an bukanlah makhluk
anthropomorfisme yaitu makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi
manusia. Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk theomorfis yang
memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya. Disamping itu manusia dianugerahi
akal yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai baik dan buruk, sehingga
membawa dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai manusia takwa.
Al-Qur'an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci
dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang
menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia,yang melakukan dosa dengan
melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari
sorga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah
pembawa dosa turunan.
Al-Quran justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi
yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan
abadi di negeri akhirat, meski dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan
beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan
manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah
berpembawaan baik (positif, haniif).
Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia
adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki
kualitas dan kesejatian semulia itu. Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa
kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu mengisyaratkan
dilema-dilema dalam proses pencapaiannya.
Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses
perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab
didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada dua tantangan moral yang saling
mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah,
dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi
sebagai manusia berkualitas mutaqqin di atas.
Gambaran al-Qur'an tentang kualitas dan hakikat manusia di
atas megingatkan kita pada teori superego yang dikemukakan oleh sigmund Freud,
seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak dijadika rujukan
tatkala orang berbicara tentang kualitas jiwa manusia.
Menurut Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego
yang mempunyai berbagai tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libido
bitalis), sehingga penyaluran doronganego (nafsu lawwamah/nafsu buruk) tidak
mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu muthmainnah/nafsu baik). Karena
superego (nafsu muthmainnah) berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego
manusia.
Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan
justifikasi terhadap egomanakala instink, intuisi, dan intelegensi - ditambah dengan
petunjuk wahyu bagi orang beragama- bekerja secara matang dan integral. Artinya
superego bisa memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang
positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego yang
merusak kualitas dan hakikat manusia itu sendiri.
Sebagai kesimpulan dapatlah diterangkan bahwa kualitas
manusia berada diantara naluridan nurani. Dalam rentetan seperti itulah manusia
berperilaku, baik perilaku yang positif maupun yang negatif. Fungsi intelegensi
dapat menaikkan manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Namun intelegensi
saja tidaklah cukup melainkan harus
diikuti dengan nurani yang tajam dan bersih. Nurani (mata batin, akal budi)
dipahami sebagai superego, sebagiconscience atau sebagai nafsu muthmainnah (dorongan
yang positif). Prof. Dr. Fuad Hasan mengatakan bahwa bagi manusia bukan sekedar
to live (bagaimana memiliki) dan to
survive (bagaimana bertahan), melainkan juga to exist (bagaimana
keberadaannya). Untuk itu, maka manusia memerlukan pembekalan yang kualitatif
dan kuantitatif yang lebih baik daripada hewan.
Manusia bisa berkulitas kalau ia memiliki kebebasan untuk
berbuat dan kehendak. Tetapi kebebasan disini bukanlah melepaskan diri dari
kendali rohani dan akal sehat, melainkan upaya kualitatif untuk mengekspresikan
totalitas kediriannya, sambil berjuang keras untuk menenangkan diri sendiri
atas dorongan naluriah yang negatif dan
destruktif. Jadi kebebasan yang dimaksudkan disini adalah upaya sadar untuk mewujudkan
kualitas dan nilai dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi secara
bertangung jawab.
Kualitas dan nilai manusia akan terkuak bila manusia
memiliki kemampuan untuk mengarahkan naluri bebasnya itu berdasarkan
pertimbangan aqliah yang dikaruniai Allah kepadanya dan dibimbing oleh cahaya
iman yang menerangi nuraninya yang paling murni.
Wallaahu A'lam.
No comments:
Post a Comment